Fatwa Ulama: Hukum Penolakan kepada Penguasa secara Terang-Terangan
Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus
Pertanyaan:
Syekh yang terhormat, dalam fatwa nomor (1260) yang berjudul “Hukum Menyatakan Penolakan Terhadap Penguasa secara Terbuka,” Anda menggabungkan antara dalil-dalil yang secara jelas melarang penolakan terhadap penguasa secara terbuka dan dalil-dalil yang secara jelas memperbolehkan penolakan terhadap mereka secara terbuka.
Pertanyaan saya adalah:
Mengapa kita tidak mengatakan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang melarang penolakan secara mutlak dan hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya tentang kewajiban memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar. Beliau menjawab, “Jika kamu mampu dan tidak ada bahaya bagimu, maka hendaklah kamu melaksanakannya.” Dan terdapat juga pendapat dan perbuatan yang lain.
Dan ada (sahabat) yang memperbolehkannya, sebagaimana riwayat sahih tentang perbuatan mereka, seperti yang dilakukan oleh Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu kepada Muawiyah radhiyallahu ‘anhu saat Muawiyah menjadi pemimpinnya. Juga yang dilakukan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu kepada Marwan ketika Marwan menjadi pemimpin di Madinah. Juga Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma bersama Al-Hajjaj dan Amr bin Sa’id ketika mereka berdua menjadi pemimpin di Madinah.
Oleh karena itu, tidak ada yang bisa menguatkan salah satu pendapat, kecuali dengan dalil. Dan dalil tersebut sesuai dengan pendapat yang melarang penolakan secara mutlak, yaitu hadis dari ‘Iyad bin Ghanam Al-Fihri radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin memberikan nasihat kepada seseorang yang berkuasa, jangan menyampaikannya secara terbuka. Akan tetapi, bawa dia secara pribadi untuk berbicara dengannya. Jika dia menerima nasihat tersebut, maka itu baik. Jika tidak, maka dia telah memenuhi kewajibannya.” (HR. Al-Haitsimi [5/232] dari Hisyam bin Hakim dan Iyadh bin Ghanam)
Adapun hadis dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَتَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونَ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَقَاحَمُ القِرَدَةُ
‘Akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang perkataannya tidak ada yang membantah. Mereka bertumpuk-tumpuk dalam neraka seperti tumpukan kera.’” (Jami’ As-Shaghir [4660] dari Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu)
Dan perkataan As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Jika kalian melihat saya dalam kesalahan, luruskanlah saya.” Dan dalam bentuk lainnya, “Jika saya menyimpang, luruskanlah saya.” Tidak terdapat dalam keduanya dalil yang jelas tentang penolakan secara terang-terangan. Terlebih lagi bagi mereka yang menolak pendapat ini menjelaskan bahwa teks-teks yang terdapat dalam fatwa tentang diperbolehkannya penolakan terang-terangan terhadap penguasa dibawa penolakan dengan kehadiran mereka. Dan penolakan tanpa kehadiran mereka dibawa ke teks yang memerintahkan nasihat secara rahasia.
Wahai Syekh kami -semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda-, apa landasan keabsahan yang Anda pilih dalam fatwa dan jawaban Anda terhadap argumen-argumen ini? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban:
Puji syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada hamba yang diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, serta kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.
Sebelum menjawab kritikan ini, nasihat saya bagi siapa pun yang ingin mengikuti metode ahlusunah dalam menetapkan masalah ilmiah, menyimpulkan hukum-hukumnya, dan membantah keraguan-keraguan mereka, baik itu dalam akidah, manhaj, fikih, atau hal-hal lainnya, adalah agar membebaskan diri dari hawa nafsu dan fanatisme, serta untuk melepaskan diri dari pengaruh mereka yang menyimpang dari kebenaran, dari mereka yang mencari-cari cela, dan dari upaya orang-orang yang jahat dan lawan-lawan, serta menghindari tipu daya orang-orang yang bermusuhan, yang menghina dan mendustakan, serta berbagai bentuk kebohongan dan pengaruh mereka.
Dan dia harus mengagungkan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan meyakini bahwa segala sesuatu yang terkandung dalam teks-teks (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan yang ditunjukkan olehnya adalah haq, petunjuk, dan kebenaran. Karena haq dan kebenaran adalah apa yang sesuai dengan dalil tanpa memperhatikan sedikitnya jumlah penentang dan kecintaan dari orang-orang yang setuju, meskipun jumlah mereka banyak, atau tanpa memperhatikan banyaknya penentang atau kebencian dari orang-orang yang berseberangan, meskipun jumlah mereka sedikit. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Ikuti jalan petunjuk. Sedikitnya orang yang mengikuti tidak akan merugikanmu. Dan jauhilah jalan kesesatan. Dan janganlah kamu tertipu oleh banyaknya orang yang tersesat.”
Jadi, kebenaran tidak diukur berdasarkan (penilaian -pen.) manusia, melainkan manusia-lah yang diukur berdasarkan kebenaran. Maka, ketahuilah kebenaran agar kamu mengenal orang-orangnya, sebagaimana ia juga harus meyakini bahwa menyelisihi teks-teks dalil ada kesalahan, kebatilan, dan kesesatan.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ ۖفَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ
“Maka, tidak ada setelah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka, mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 32)
Kita meyakini bahwa menentang teks-teks wahyu dengan pendapat manusia dan hawa nafsu adalah perbuatan ahli bid’ah dan pengikut-pengikutnya. Demikian pula, kita meyakini bahwa semua teks Al-Qur’an dan As-Sunnah harus diyakini dan diimani sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Ketika kebenaran dari syariat telah jelas, maka wajib untuk mengikutinya dan mengutamakannya di atas yang lain, siapa pun dia. Syariat adalah otoritas yang mutlak, karena setiap pendapat yang dijadikan pijakan haruslah sesuai dengan pendapat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itu akan dijadikan landasan. Allah Ta’ala berfirman,
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيم
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
Anda juga harus merujuk kepada teks-teks syariat semuanya, jangan hanya mengambil beberapa bagian dan mengabaikan yang lain, kecuali jika ada pembatalan (penghapusan hukum -pen.) seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ القُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ
“Sesungguhnya Al-Qur’an tidak turun untuk saling mendustakan satu sama lain, tetapi untuk saling membenarkan satu sama lain. Oleh karena itu, apa yang kalian ketahui darinya, amalkanlah. Dan apa yang kalian tidak mengetahui darinya, tanyakanlah kepada orang yang mengilmuinya[1].”
Dan As-Sunnah dalam hal ini sama seperti Al-Qur’an, karena kedua teks ini berasal dari sumber yang sama. Menggunakan semua dalil lebih baik daripada mengabaikannya atau mengabaikan sebagiannya, sesuai dengan prinsip-prinsip penyelesaian pertentangan (di antara dalil-dalil yang ada).
Jika hal itu telah ditetapkan, maka pendapat bahwa ucapan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَتَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونَ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَقَاحَمُ القِرَدَةُ
“Akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang perkataannya tidak ada yang membantah. Mereka bertumpuk-tumpuk dalam neraka seperti tumpukan kera.”2]
Pada hadis ini, tidak terdapat dalil tentang penolakan. Dan syahid tentang keabsahan pendalilannya di sini adalah sebagai berikut:
Pertama: Dalam hadis ini terdapat cerita yang memuat penolakan terhadap Muawiyah radhiyallahu ‘anhu secara terbuka. Dalam hadis tersebut yang disebutkan dalam riwayat At-Tabarani, “Abdullah bin Ahmad bin Hanbal telah menceritakan kepada kami, Suwaid bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Dhimam bin Ismail telah menceritakan kepada kami, dia berkata, ‘Aku mendengar Abu Qabil meriwayatkan[3] dari Muawiyah bin Abu Sufyan bahwa dia naik ke mimbar pada hari Jumat dan dalam khotbahnya, dia berkata, “Sesungguhnya harta itu adalah harta kami, dan rampasan itu adalah rampasan kami. Maka, barangsiapa yang kami[4] kehendaki, kami berikan kepadanya, dan barangsiapa yang kami kehendaki, kami tahan darinya.” Tidak ada seorang pun yang menjawabnya.
Ketika Jumat kedua, dia mengulangi hal yang sama, dan tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Ketika Jumat ketiga, dia mengulangi perkataannya, lalu ada seorang laki-laki yang mendekatinya di antara jemaah masjid dan berkata, “Tidak benar, sesungguhnya harta itu adalah harta kami dan rampasan itu adalah rampasan kami. Siapa yang menghalangi kami, kami perangi dia dengan pedang kami.”
Kemudian Muawiyah turun dari mimbar dan mengutus orang untuk memanggil laki-laki itu, lalu dia masuk dan orang-orang berkata, “Laki-laki itu sudah binasa.” Kemudian orang-orang masuk dan mereka menemukan laki-laki itu bersama Muawiyah di atas dipan, lalu Muawiyah berkata kepada orang-orang, “Sesungguhnya laki-laki ini telah memberi hidup kepadaku –semoga Allah memberikan kehidupan kepadanya-. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سَتَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونَ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَقَاحَمُ القِرَدَةُ
“Akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang perkataannya tidak ada yang membantah. Mereka bertumpuk-tumpuk dalam neraka seperti tumpukan kera.”
Dan pada Jumat pertama, aku berbicara, tetapi tidak ada yang menjawab saya, sehingga aku takut menjadi salah satu dari mereka. Kemudian aku berbicara lagi pada Jumat kedua, tetapi tidak ada yang menjawabku. Kemudian aku berkata dalam hati, ‘Aku adalah salah satu dari mereka.’ Kemudian aku berbicara pada Jumat ketiga, lalu pria ini berdiri dan menjawabku, sehingga dia membangkitkan semangatku (dengan kata-katanya) – semoga Allah membangkitkannya[5].`”
Bentuk pendalilannya bahwa seorang pria yang hadir di masjid melakukan penolakan secara terbuka kepada Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata (di hadapan Muawiyah, pent.), “Tidak, sesungguhnya harta adalah milik kami dan rampasan adalah rampasan kami. Siapa yang menghalangi antara kami dan dia, kami akan menyerahkannya kepada Allah dengan pedang kami.” Muawiyah radhiyallahu ‘anhu tidak melarangnya dari tindakannya tersebut, dan dia tidak memerintahkannya untuk mengecam (menentang) secara diam-diam, meskipun pria tersebut mampu melakukannya. Menunda pengungkapan saat diperlukan tidak diperbolehkan seperti yang diketahui dalam kaidah. Akan tetapi, Muawiyah radhiyallahu ‘anhu memuji tindakannya dengan berkata, “Semoga Allah membangkitkanku melalui dia.” Muawiyah radhiyallahu ‘anhu mengetahui implikasi hadis tersebut, karena dia adalah seorang perawi hadis dan dia lebih tahu tentang apa yang dia riwayatkan. Sikapnya ini sesuai dengan hadis dan dengan apa yang dipegang oleh generasi terdahulu (salaf).”
Kedua: Ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ” merupakan dalil bahwa tidak membantah para pemimpin, tidak menampakkan kebenaran, dan menghilangkannya – dengan memiliki kemampuan untuk melakukannya dan tanpa ada alasan syar’i dan tanpa takut akan munculnya kerusakan – merupakan penyebab terjebaknya dalam neraka. Membantah (dalam hadis ini) datang secara mutlak, baik dalam bentuk rahasia maupun terbuka, tergantung pada kepentingan dalam memperjuangkan kebenaran dan menghapuskan kebatilan.
Oleh karena itu, Muawiyah radhiyallahu ‘anhu menguji rakyatnya[6], menunggu pengingkaran terhadapnya, baik secara rahasia maupun terbuka; agar Allah tidak menjadikannya sebagai salah satu pemimpin yang perkataannya tidak dibantah, sehingga mereka saling berbenturan di dalam neraka dan saling jatuh di dalamnya. Telah disadari bahwa memberi nasihat secara rahasia itu sendiri, jika tidak menghasilkan kebaikan, bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau menyebabkan kemungkaran yang lebih besar. Maka, memberi nasihat secara rahasia sebanding dengan menolak secara terbuka untuk tidak dilakukan. Karena mengubah kemungkaran tidak boleh berujung pada kemunculan kemungkaran yang lebih besar. Allah Ta’ala berfirman,
فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَى
“Maka, berikanlah peringatan jika peringatan itu bermanfaat.” (QS. Al-A’la: 9)
Ketiga: Karena Muawiyah setuju dengan pendapat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, “Jika kalian melihat saya berada dalam kesalahan, luruskanlah saya.” Dan dalam redaksi lain, “Jika saya tersesat, tunjukkanlah jalan yang benar untuk saya.”[7] Karena itu, dalam hal ini terdapat dalil keabsahan untuk menolak kesesatan dan penyimpangan terhadap para imam dengan melakukan klarifikasi, perbaikan, dan penyempurnaan, baik secara diam-diam maupun terbuka, sesuai dengan maslahat dan kemampuan, agar kebenaran tidak hilang, dan kesalahan serta kebatilan tidak tersebar, dengan memperhatikan ketentuan syariat yang telah ada sebelumnya dalam fatwa yang dikeluarkan sesuai dengan pengetahuan para ulama zaman ini dan lainnya.[8]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika imam tersebut lurus, bantu dia dalam ketaatan kepada Allah Yang Mahatinggi. Jika dia menyimpang dan melakukan kesalahan, tunjukkan kepadanya kebenaran dan berilah petunjuk kepadanya. Jika dia sengaja berbuat zalim, cegah dia sesuai kemampuan dari perbuatan itu. Jika dia tunduk kepada kebenaran seperti Abu Bakar, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk meninggalkan hal itu.”[9]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, prinsipnya adalah untuk menggunakan (mengamalkan) semua teks dalil tanpa penyelewengan atau penolakan terhadap sebagian dari teks dalil tersebut. Hal karena semuanya berasal dari sumber yang otentik dan tunggal.
Oleh karena itu, penolakan terhadap penguasa secara terbuka dapat diterima jika diharapkan adanya kebaikan, kemaslahatan, dan hilangnya kejahatan. Hal ini dinilai oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kecakapan dalam melihat keadaan negara dan masyarakat. Praktik ini sesuai dengan pernyataan Muawiyah yang mendukung amalan orang-orang terdahulu seperti yang ditetapkan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah.[10]
Ketahuilah bahwa penolakan di hadapan pemimpin, yang merupakan dasar dari penolakan terbuka, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa jejak salaf, juga memungkinkan penolakan terhadap perbuatan mungkar secara diam-diam, seperti yang ditunjukkan oleh asar-asar lain dari salaf. Salah satunya adalah hadis Ubadah bin Samit (semoga Allah meridainya) di mana Abu Qilabah berkata, “Abu Al-Asy’ath berkata, ‘Kami berperang sebagai pasukan dan Muawiyah bertanggung jawab atas rakyat. Kami mendapatkan banyak harta rampasan perang, termasuk peralatan dari perak. Muawiyah memerintahkan seseorang untuk menjualnya dan memberikan hasilnya kepada orang-orang. Orang-orang berebut dalam hal ini. Berita itu sampai kepada Ubadah bin Samit, lalu dia berdiri dan berkata, ‘Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali jika dengan takaran yang sama dan tunai. Barangsiapa melebihkan, maka dia telah melakukan praktek riba.`”
Orang-orang menyebarkan apa yang mereka dengar, padahal Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu tidak berada di sana pada saat itu. Ketika Mu’awiyah mendengar hal itu, dia berdiri sebagai seorang pembicara dan berkata, “Apa yang terjadi dengan orang-orang yang berbicara tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hadis-hadis yang kami dengar dan kami saksikan padanya, namun kami tidak pernah mendengarnya dari beliau?” Kemudian Ubadah bin Ash-Shamit berdiri dan mengulangi cerita tersebut, kemudian dia berkata, “Kami akan berbicara tentang apa yang kami dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun Mu’awiyah tidak menyukainya (atau dia berkata meskipun Mu’awiyah tidak setuju) saya tidak peduli jika saya tidak menyertainya dalam pasukannya pada malam yang gelap[11].”
Menjadi kewajiban bagi rakyat untuk meninggalkan penolakan secara terbuka jika terdapat dugaan (kuat) bahwa penolakan tersebut akan menambah keburukan dan fitnah, dan tidak akan mencapai kebaikan. Oleh karena itu, hal terpenting yang diwajibkan dalam situasi seperti ini adalah meninggalkan penolakan secara terbuka tersebut, menghindarinya, dan cukup memberikan nasihat kepada mereka secara rahasia sebisa mungkin. Hal ini sesuai dengan hadis dari Ayyad bin Ghannam -semoga Allah meridainya- dengan meninggalkan ketaatan kepada mereka dalam perkara yang bertentangan dengan teks-teks Kitab dan Sunnah yang jelas.
Dengan cara ini, semua nash-nash (dalil) As-Sunnah diterapkan (baca: diamalkan) secara keseluruhan. Tidak diragukan lagi bahwa penggabungan dan penyelarasan antara dalil-dalil yang saling bertentangan (tajmi‘) itu lebih diutamakan daripada penentuan pilihan yang paling kuat (tarjih), seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah ushuliyah. Hal ini karena penggabungan dan penyelarasan antara dalil-dalil tersebut adalah yang terbaik untuk menjauhkannya dari kekurangan dan kelemahan, dan merupakan yang terlengkap untuk menghindari pertentangan dan pembatalan.
Catatan penting:
Perlu ditegaskan bahwa ketika kita mengatakan bahwa penolakan secara terang-terangan terhadap penguasa saat terdapat manfaat dan hilangnya kejahatan sesuai dengan ketentuan dan pembatasan yang telah dijelaskan sebelumnya, hal itu tidak boleh dianggap sebagai menghasut masyarakat umum, memprovokasi timbulnya kekacauan, atau menghina penguasa mereka untuk memicu terjadinya kerusuhan. Tidak boleh dianggap pula sebagai (bentuk) berpartisipasi dalam gelombang kekacauan dan gangguan seperti yang dilakukan oleh para aktivis dan partisipan yang bertujuan menyebarkan perpecahan dan perbedaan untuk mengguncang keamanan dan stabilitas negara.
Yang dimaksud dan inti dari manfaat dalam hal ini adalah menjaga agar hak tidak hilang, agar tidak mendiamkan kesalahan, dan rida dengan kemungkaran. Hal ini karena tugas orang-orang yang berilmu adalah untuk menunjukkan kebenaran dan menjelaskannya kepada orang-orang serta tidak menyembunyikannya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُۥ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.`” (QS. Ali Imran: 187)
Barangsiapa yang mencampuradukkan antara apa yang diperbolehkan dengan apa yang dilarang, maka dia telah menyatukan antara dua hal yang berbeda, salah dalam memahami hikmah hukum, lemah dalam memahami tujuan, serta menggabungkan antara yang benar dengan yang salah. Dan tidak diragukan lagi bahwa itu termasuk dalam qiyas yang dilarang secara syariat yang diketahui kebatilannya secara darurat yang tidak dapat disalahkan, kecuali peng-qiyas yang memiliki kekurangan dan kelemahan. Dan tidak ada hubungan antara isi jawaban yang diterbitkan dengan cacatnya. Tidak perlu mengaitkannya dengan kejelekan. Sebaliknya, kekurangan itu terbatas pada mereka yang menyamakan antara hak (bolehnya) penolakan yang diwajibkan secara syariat dan kesalahan fitnah serta penghinaan terhadap penguasa yang dilarang secara syariat.
Dan pengetahuan itu hanyalah milik Allah Yang Mahatinggi. Doa terakhir kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Semoga Allah memberikan selawat kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, pengikutnya hingga hari pembalasan. Semoga keselamatan tetap tercurah kepadanya.
Baca juga: Ahlusunah Membela Kezaliman Penguasa?
—
Sumber: https://ferkous.com/home/?q=fatwa-1261
Penerjemah: Fauzan Hidayat
Artikel asli: https://muslim.or.id/85579-hukum-penolakan-kepada-penguasa-secara-terang-terangan.html